RURAL (CERPEN)

 Rural


Tandis adalah kota kecil dan pinggiran. Tidak ada yang istimewa dari kota kecil ini. Tidak ada  panorama elok nan memukau.  Tidak memiliki pusat kesehatan yang memadai. Tidak memiliki sanggar olahraga untuk melepaskan hobi. Tidak ada  alun - alun kota untuk menikmati langit sore. Tidak ada taman hiburan untuk anak - anak bermain. Tidak ada pusat perbelanjaan.  Tidak ada  restoran untuk berakhir  pekan. Tidak ada tempat tamasya untuk melepas penat. Nihil. Selain para jutawan yang mulai menjamur dan para kriminal yang tidak mau berhenti, tidak ada yang membuat kota Tandis lebih menarik.

Letaknya yang strategis, yaitu di jalur lintas antar provinsi menjadikan kota ini dikenal beberapa orang, diantaranya para sopir truk dan sopir bus antar provinsi. Siapapun yang tiba di kota Tandis akan disuguhi hamparan hijaunya rimbunan pelepah sawit ditambah birunya cakrawala siang, lalu pada saat malam, gelapnya kota seakan tak berkesudahan, hanya taburan bintang yang membedakan antara langit dan bumi. Bahkan lampu jalan agaknya terlalu istimewa untuk kota ini.

Bangunan mewah bak istana seolah - olah tudung bagi keberadaan gerombolan berandal,  Kendaraan pribadi yang berkilau lalu lalang menutupi linearitas kesenjangan masyarakat.  Pembangunan infrastruktur kota Tandis begitu timpang balik dengan kekayaan yang dimiliki masyarakat kota itu. Gradien  Jumlah pengangguran selalu positif, begitu juga dengan tindak kejahatannya.

Malam itu, Godang pulang terlambat. Tidak biasanya dia kembali ke rumah sebelum Magrib. Istrinya pasti akan khawatir. Seandainya truk muat, yang biasa mengangkut hasil panen kelapa sawitnya datang lebih awal, dia pasti sekarang sudah menikmati makan malam dengan istrinya. 

Sejauh ini dia tidak begitu kecewa dengan hasil panen yang diperoleh, sejujurnya hasilnya sangat memuaskan. Dua bulan terakhir Godang bersusah payah menabung hasil panennya, demi rencana liburan sekaligus bulan madu yang tertunda bersama istrinya. Mereka akan berkeliling  pulau jawa dan pulau dewata Bali. Tiket pesawat dan penginapan telah di pesan, semua telah dirancang dan dipersiapkan untuk membuat liburan itu berkesan. Momen itu akan menjadi dua minggu yang tidak terlupakan. Membayangkannya saja membuat Godang berdebar - debar.

Delapan tahun mengabdikan diri sebagai petani sawit, akhirnya membuahkan hasil. Ketika teman sekolahnya memutuskan untuk berangkat ke kota untuk mendapat sebuah gelar dari hasil kiriman orangtua mereka di kampung, Godang  membanting tulang di bawah panas terik matahari, memupuk kebun sawit miliknya yang dia dapat dari warisan  orang tuanya, sebagai ganti tanggung jawab orang tuanya karena tidak mengirim Godang ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kadang Godang juga harus bekerja di ladang orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, atau jika perlu dia mencuri di kebun tetangga yang sudah menghasilkan, yang jika ketahuan dia mungkin saja dilaporkan ke polisi.  Penantian Godang  selama  tahun - tahun penuh cucuran keringat dan luka tidak mengecewakan, ketika beberapa temannya masih sibuk mencari pekerjaan, dia sudah memiliki rumah dan  seorang istri. 

Godang Tidak ingin menghabiskan waktunya lebih lama disana, dia ingin segera menemui istrinya, semoga istri rupawannya masih menunggunya untuk makan malam. Dia mencari motor Hondanya di dalam kegelapan, dia merogoh telepon seluler dari kantongnya, mengetik sandi kemudian memilih salah satu pilihan gambar  yang tersedia di layar, pijar senter dari telepon seluler muncul dan  membantu Godang menemukan motornya. Dia menghidupkan mesinnya, kemudian dia melaju meninggalkan kebun sawitnya. 

Dia persimpang tiga jalan dia berputar ke arah kanan, dia melewati jalan setapak yang biasanya digunakan para petani sawit, untuk mempersingkat mereka menuju jalan besar. Godang mengarahkan motornya di jalur yang mulus,  jalan setapak itu bukanlah jalan yang terbaik yang tersedia di sana. 

Di antara bunyi  mesin motornya sendiri,  samar samar Godang mendengar suara mesin motor lain, dari kaca spion dia melihat seberkas cahaya.’Oh masih ada petani lain ternyata’, batin Godang.  Godang bisa merasakan motor itu mulai mendekat, entah bagaimana perasaan Godang tidak tenang. Cara motor itu  mendekat tidak lazim, Godang mulai tidak nyaman, dengan kepala dingin dan mencoba tetap positif  dia mempercepat motornya senormal mungkin, dia melirik spion lagi, dia  tidak bisa melihat apapun selain berkas cahaya neon motor di belakangnya. Dalam hitungan menit, motor di belakang Godang sudah berjarak beberapa meter, Godang mulai khawatir, tangannya mulai berkeringat dan penglihatannya yang buruk makin memperburuk keadaan, ‘Jelas pengemudi motor itu mengincarnya’ pikir Godang. Godang tidak memperhatikan jalannya lagi, pandangannya lurus dia memutar gas selaras menaikkan  kecepatan motornya. Dia berusaha menjauh dari para pengemudi itu. 

Motor dibelakang Godang melakukan manuver yang tajam, sehingga sekarang mereka hampir sejajar, Godang Benar benar terjebak, menghindar bukanlah pilihan, karena jalan setapak itu adalah jalur lurus yang berakhir di jalan besar, jika memutar kemudi motornya ke arah kiri atau kanan maka Godang akan langsung terjun ke parit besar di sisi jalan setapak,  tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk menghindari mereka.

Godang mengerling sebentar ke arah pengikutnya, dia mengebut dan  hampir berhasil memperbesar jarak dengan pengemudi itu. Godang sudah melampaui batas kecepatan maksimumnya, tetapi motor itu mengejar Godang, hanya sekedip mata dan hitungan detik motor itu sejajar dengannya. Pucat pasi, Godang berusaha memandang lurus, pada saat dia melirik ke arah kanannya.  Seketika dia melayang bersama motornya. Dia terjungkir. Jatuh ke dekat parit, kakinya mengenai tanah liat yang berbatuan, motornya masih melaju kencang dan menyeret mereka berdua dengan gerakan melingkar. Godang merasakan tangan kirinya retak dan pahanya robek oleh batang akar yang tertancap di tanah, dia masih memegang kemudi motornya berusaha menghentikan motornya, sebelum sisi kepala kirinya membentur keras  sesuatu dan membuat dia tidak sadar diri. Motor itu masih menyeret Godang beberapa meter sebelum Godang jatuh terguling ke dalam parit dan motor Hondanya menyala di sisi parit. Penguntit Godang menurunkan gas dan  menghentikan  motornya, seorang penumpang motor itu turun, dia berlari menuju motor Godang, menariknya ke jalan, menaikinya dan mengencangkan gasnya. Memutar balik motor honda tersebut selaras mengemudikannya dari arah mereka datang, kemudian menancap gasnya kencang, Motor yang lain mengikutinya, hingga mereka menghilang di ujung Jalan.

Tubuh  Godang tenggelam di parit, darahnya mengalir deras dari kepala, tangan, dan kakinya. Jauh di bawah gemerlap bintang langit tubuh Godang bagai bintang laut diselimuti sutra maroon. Beberapa Kilometer dari tubuh Godang seorang wanita muda berdiri di  atas jembatan kecil, dibahu jalan lintas, gemerlap lampu kendaraan menyiksa matanya, meskipun begitu wanita itu tidak berhenti melihat ke arah jalan, dia akan melenggak setiap suara motor melewatinya, berharap motor itu berbelok ke arahnya, sekali - kali  dia menengadah ke langit, rembulan bersinar terang tanpa ragu kepadanya. Begitu indah dan bulat.

Dia mengalihkan pandangannya ke arah jalan lagi. Kesabarannya mulai habis, matanya menunjukan ketakutan dan kekhawatiran. Dari jauh dia mendengar suara motor, dia mengerling berbinar karena dia mengenal suara motor yang tidak asing itu. Semakin dekat, wanita itu mulai tersenyum karena dia semakin yakin itu adalah motor yang dia tunggu sejak dua jam lalu. Alih - alih berhenti, motor itu melaju kencang melewatinya diikuti motor lain yang sama kencang. Menelan kekecewaannya. Dia mendongak ke arah bulan lagi, salah satu bintang menarik perhatiannya, dia menajamkan matanya memandang bintang itu, dia melotot dan membatin apakah bintang itu sedang tersenyum padanya atau itu hanya imajinasinya, begitupun dia tidak berhenti memandangnya, hingga semakin lama bintang itu semakin kecil dan akhirnya menghilang. 

Tamat.




Comments

Popular posts from this blog

Stinkhorn mushroom

Perempuan perempuan Bali1

Hujan November