Pencuri Kantong Pengangguran (Cerpen)

 Pencuri Kantong Pengangguran 


Mereka menyebut diri mereka  Sebuah PT. Namanya memang indah, nama yang akan meyakinkan para pengangguran frustasi dan putus asa seperti Aku.  PT. Grand Central begitu mereka mengenalkan namanya di iklan situs platform Job yang sepi pengunjung. Dan mereka berhasil meraup  keuntungan dari kantong banyak orang. 

02  Februari 2022. Apa yang khusus pada hari itu, apakah karena hari itu adalah tepat dua hari setelah ulang tahunku yang ke-22?  Hari dimana, selama satu tahun ini, untuk pertama kali ayam berkokok dari jam weker ponsel pintar milikku, bergelegar membangunkanku yang enggan meninggalkan mimpi pagi. Aku membuka mata dan meraih ponselku dan menyentuh tulisan matikan alarm. Aku bangun didorong oleh asa baru, setelah sekian lama aku memilih bermalasan di atas kasurku, daripada menghadapi realitas. Dibangkitkan suatu tujuan yang dapat mempertahankan kewarasanku. Kulirik angka di layar  ponselku pukul 06.00 WIB, aku bergegas dan bersiap, berdiri di depan lemari kusisir susunan pakaianku lalu mengambil kain yang sana dan menarik yang sini, ku kenakan mereka. Setelah itu aku menuju tumpukan berkas di samping tempat tidurku, kupersiapkan berkas dan material sebagai syarat kualifikasi untuk melakukan wawancara pekerjaan. Aku mengaplikasikan rangkaian perawatan wajah yang terdiri dari tabir surya ke wajahku. 

Tidak lama aku menghampiri kamar temanku yang berjarak satu kamar, bak ulat bertransformasi begitu harapan yang ku munculkan pada diriku, meskipun sebenarnya itu merupakan ekspektasi yang kelewat optimis, aku sadar tidak akan ada yang berubah padaku, kemeja putih dengan celana panjang hitam, aku seperti angsa jelek berkuwak - kuwak pada langit untuk diberi mukjizat,  namun aku butuh meningkatkan kepercayaan diri ku. Aku merias wajah dan merapikan rambutku, setidaknya itu dapat mengurangi buruk rupa yang kudapat dari entah siapa. Aku menaburkan bedak, mengoles ujung lipstik merah ke bibirku yang kering, serta menebalkan garis alisku yang berantakan. Aku mengait anting berbentuk hati permata palsu ke telingaku, kemudian menatap sosok jangkung bulat di balik cermin, dan membatin padanya bahwa kami berdua siap untuk menghadapi omong kosong ini. "Semoga sukses" kata temanku Desi. Sebelum berangkat aku menarik napas dan mengucapkan mantra - mantra mujur yang semoga hari ini bekerja. 

 Aku menantang teriknya matahari pagi ibu kota. Hiruk pikuk urban memenuhi cuaca hari ini. Bunyi klakson mengalunkan desahan panjang yang sepertinya tidak akan berhenti untuk waktu yang lama. Bahkan jalanan  yang setia mendengarnya telah  merindukan ketenangan yang tercipta dua tahun belakangan ini.  

 Aku berjalan, membusung dadaku, kepala tegak, sepatu tiga sentimeter hitam yang ku pakai  menuntunku  ke  halte bis yang berjarak 600 meter dari tempat tinggalku. Aku menunggu selama lima belas menit sebelum bis kota tiba, bis berhenti di gerbong tunggu dan aku mengambil posisi duduk paling belakang, aku memeriksa ponsel pintar milikku, aku mempelajari alamat kantor perusahaan tujuanku, dan fitur navigasi sangat membantuku. Menurut fitur canggih tersebut waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tujuan kurang lebih satu jam tiga puluh menit. 

Dua puluh menit di dalam bus aku mendapat pesan, dari kakaku, aku membukanya, senyum sumringah menghiasi wajah dibalik masker putih, dia mengirimiku uang sebesar dua ratus ribu, dia menulis " Selamat ulang tahun dek, pergunakan dengan baik yah"! aku hampir menangis membacanya. Selain karena itu adalah satu - satunya angka yang tertera di E-Banking ku, juga karena itu adalah kado pertama dan satu- satunya yang aku dapatkan.

Satu jam tiga puluh menit berubah menjadi dua jam. Kupakai Jam - jam panjang itu membaca dan menghitung bangunan - bangunan pencakar langit ibu kota, tempat para cendekia duduk di balik komputer mengenakan Jas kebanggan mereka, sesaat kemudian aku mengarang cerita di balik rumah - rumah kumuh berjejer di sepanjang rel, saat bis melewati jalur kereta api, membuatku menyeringai sendiri. Aku mencoba menikmati panorama kota dari balik dinding bis, aku bertanya - tanya, apakah itu asap dari sebuah kebakaran? Seolah - olah serentak menyelongsong  hampir semua sudut kota, tapi  aku menahan pikiran liarku, itu bukan gumpalan asap kebakaran, itu hanya sebuah kota Jakarta. 

Aku tiba di halte tujuan, aku keluar  dan  menuruni tangga, dan  menuju lokasi yang  tertera di  layar smartphone, aku sempat tersesat, hingga akhirnya aku menemukan lokasinya. Adalah sebuah bangunan petak berbentuk ruko dua lantai, aku menjelaskan kepada satpam tujuan kedatanganku dan dia mengantarkanku ke bagian resepsionis, di sana seorang perempuan muda memintaku untuk menunjukan bukti undangan wawancara.  Aku menunggu beberapa menit dan kemudian aku diarahkan untuk pergi ke lantai dua menemui seseorang yang namanya berat untuk kutulis, aku menelusuri  ruangan itu, bukan sebuah tempat yang pantas untuk dikatakan sebuah Office untuk sebuah PT,  bisikku dalam hati, kemudian aku dipersilahkan duduk dihadapan  seorang wanita paru baya, dia tidak memperkenalkan dirinya, tapi aku berasumsi dia adalah orang yang namanya disebutkan dipesan undangan wawancara. Kemudian dia menjelaskan sebuah skema yang pernah  aku alami, seketika aku mengalami kilas balik. 

Dua Puluh empat jam sebelumnya. Aku berada di dalam bis menuju Jakarta Timur, adalah sebuah lokasi  yang akan aku datangi, untuk wawancara pekerjaan. Aku belum pernah ke daerah ini, tapi pada akhirnya aku menemukan lokasinya, sebuah bangunan ruko tua dua lantai, aku disambut seorang satpam, dia mengarahkan ku untuk masuk ke sebuah ruangan kosong yang hanya berisi dua meja dan tiga orang sedang duduk di baliknya dan tiga orang pria dengan baju hitam putih yang menghadap mereka di ujung yang lain. 

Hanya menunggu lima menit aku diminta naik ke lantai dua. Ruangan pertama yang aku temui adalah sebuah ruangan yang berisi beberapa meja yang diatur sedemikian rupa sebagai areal khusus wawancara, aku melewati ruangan itu dan masuk ke ruangan kedua di sana seseorang menunggu ku, mempersilahkanku duduk dan menanyakan nama ku, alih alih menyelidiki siapa aku dan pengalaman pekerjaan ku, layaknya bagian personalia umumnya, dia langsung menjelaskan tentang upah yang akan aku terima, dia bahkan tidak mau repot menyebutkan nama pekerjaannya, dia mengakhiri kuliahnya dengan menagih uang sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Aku menyembunyikan keterkejutanku dan kebengonganku, ‘Aku akan sangat bodoh jika termakan dengan kelancangan wanita ini’, pikirku saat  itu, dia mendesakku dan aku mulai bersikap defensif, pada akhirnya aku mengundurkan diri. 

Ironisnya kejadian yang sama terjadi lagi, di hari berikutnya, yaitu hari ini. Kadang aku berpikir karma apa yang aku pikul hingga aku berada di sini. Di tempat terendah dalam hidupku. Aku pernah menjadi seorang penjaga bayi, pelayan, pedagang daring. Aku selalu bekerja keras. Aku hanya ingin bekerja dan mengapa itu juga sulit. 

Jika hari itu aku penuh kesadaran perusahaan yang mewawancara aku adalah komplotan penipu, berbeda dengan hari ini. Aku kelabat, seolah aku akan melepaskan sebuah ikan jika aku tidak masuk dalam kapal itu, aku membuang pikiran skeptis yang biasanya menemaniku. Ketika mendengar tawaran yang digambarkan wanita itu, akal sehat ku membuyar digantikan bayangan abstrak tentang pekerjaan tersebut, kemudian dia menambahkan upah menggiurkan yang akan kuperoleh, tidak masuk akal tetapi menarik dan menjerat logika. Prosesnya begitu cepat, bahkan putaran jarum jam tidak sempat memberiku peringatan. Segera aku mengosongkan rekening dan mengirimkan mereka uang terakhir yang kumiliki, aku menandatangani surat terima uang yang kuberi. Kemudian aku diarahkan kepada orang yang berbeda, orang ini lebih ofensif, dia menekanku untuk segera membayar keseluruhan jaminan yang jumlahnya tidak sedikit, bahkan dia memberiku konsultasi gratis untuk menelepon relasiku agar memberikanku  pinjaman, dengan sukarela aku lakukan, aku mendapatkan pinjaman. Nanti aku sangat menyesal tidak mendengarkan kata hatiku, apalagi  mempertimbangkan sedikit keraguan . 

Tak lama aku menemui orang itu lagi, uang yang dia minta tersimpan di rekening. Sebelum aku menyerahkan uang itu aku memohon untuk memeriksa kontrak yang telah  dia siapkan, tanpa curiga dia memberikannya.  Aku membaca, mencoba memahami isinya, dan berusaha tidak meninggalkan sesuatu, setelah selesai, nalarku yang lugu tapi tajam mengingatkanku bahwa surat perjanjian itu akan meletakkan ku di dalam sebuah penjara yang tak berwujud. Toh kebodohan merajaiku, aku menandatangani  kontrak itu dan mengirimkan uang tersebut.

Aku hanya satu dari puluhan korban mereka, hanya dalam kurun waktu  dua hari aku mengalami hal yang sama, dua nama perusahaan yang berbeda, motif yang sama. Penipu-penipu seperti mereka bukan alunan lagu baru.  Aku hanya ingin bekerja, Aku punya kompetensi dan pengalaman, dan sayang sekali dengan itu pun aku harus membayar harga dulu. Pada akhirnya aku pulang dengan hati yang tidak tenang dan membiarkan mereka mengambil uang ku. Uang yang aku telah rencanakan untuk membelikan diriku sebuah kado yang ke dua puluh dua tahun.  Sampai aku menuturkan ceritaku ini aku belum mendengar kabar dari mereka. 

Tamat


Comments

Popular posts from this blog

Stinkhorn mushroom

Perempuan perempuan Bali1

Hujan November