Obituari Korannya Bolang (cerpen)

 Obituari Korannya Bolang


‘Aku mimpi lagi’ kata Lokito dengan suara berat, istrinya yang setengah tidur bergerak sedikit, seolah memberitahu Lokito bahwa dia juga terjaga. Lokito berbaring terlentang, tangannya direntang di atas kepalanya dan tangan yang lain di atas perutnya. Matanya menatap plafon rumahnya yang sudah mulai berjamur. ‘ ini uda ketiga kali’ bisik Lokita. 

‘ Itu hanya mimpi, gak berarti apa - apa.’  balas istri Lokita sambil membalikkan tubuhnya ke arah suaminya. ‘ Orang tua dulu bilang mimpi selalu kebalikan dari kenyataan, Bapak kamu sehat dan kuat, malaikat kematian pun tidak berani menatapnya.’  

Lokito ingin mempercayai kata - kata istrinya, Ayahnya memang selalu bugar seperti olahragawan yang tidak kenal renta, dia tidak pernah melewatkan  lari pagi yang akan diakhiri terapi berjalan diatas kerikil di jalan setapak di antara kebun bunga miliknya. Lalu dia akan duduk selama dua puluh menit di atas bangku di dekat pancur kolam mini, tempat dia memelihara beberapa ikan Mas, dia akan memposisikan punggungnya sedemikian rupa agar tepat menghadap matahari. Kegiatan rutin paginya tidak akan selesai, sebelum dia menerima Koran pagi.  Hari itu dia berjemur lebih lama, keringat berjujuran dari sekujur tubuhnya, wajahnya sudah memerah bukan karena radiasi matahari tetapi karena panas dari ubun - ubun kepalanya. 

Dan ketiadaan Koran menambah beban panas di wajahnya.. Dia mendengar suara ibu - ibu mengerubungi gerobak pedagang sayur tak jauh dari halaman rumahnya, mereka asyik merumpi apa saja, bahkan lelaki tua sepertinya bisa masuk ke dalam keranjang gunjingan. Dia bisa melihat dari balik kepalanya, jika mereka mengerling ke arahnya dengan mulut mereka yang besar. Dia tidak peduli. Samar - samar dia mendengar langkah kaki melalui setapak jalan taman, dia sengaja tidak menoleh, dia tidak sudi menghabiskan waktu untuk menyahut siapapun itu. ‘ Lang, Bolang’ kata suara itu lirih, suara Gadis itu begitu khas, bahkan anjing sekalipun tidak akan melupakannya, dia melanjutkan. ‘ Lang  kudengar dari bapak tukang sayur, tidak akan ada koran hari ini.’ 

Mendengar kalimat terakhir wanita itu, dia tidak bisa lagi membendung amarahnya, hampir empat jam dia menunggu disana, dibakar terik matahari. Dia marah, dan siap membara seperti api yang siap menyambar, bahkan  air dari kutub pun tidak akan mampu menyulut amarahnya. Dia melempar bangkunya ke taman, yang seketika menghancurkan bangku kayu bersamaan dengan taman yang baru minggu lalu ditata ulang, Dia menggerayangi  bunga - bunga yang baru saja mekar karena gerimis semalaman kemarin. Apapun yang dia sentuh akan dia tarik atau di tendang. Wanita itu seketika iba melihat makhluk - makhluk indah habis di tangan Bolang.

Wanita itu tertegun melihat aksi Bolang, belum pernah dia melihat Bolang seperti ini,  mungkin sinar matahari telah meracuni sisa - sisa nalarnya. Para  ibu - ibu yang belum selesai menyelenting, sekarang berbondong di depan halaman rumah Bolang. Turut menyaksikan Bolang yang kerasukan ‘Arwah obituari’  Kata salah satu mereka, dan serentak mereka nyengir.

Sekarang Bolang masuk ke kolam mini, tempat  ikan - ikan mas berdecup dan berdengus, Bolang merangkak di dasarnya, menangkap ikan - ikan itu dan melemparnya ke tanah. Semua yang menonton kelakuan Bolang menggeleng - geleng, dan bersimpati kepada nasib ikan - ikan malang itu, meskipun begitu tidak ada yang berani menghentikannya. Sekarang kolamnya kosong, Bolang berhenti, lalu menyisir pandangannya, matanya  menangkap para ibu - ibu di dekat pohon dekat halaman rumahnya, dia berdiri, keluar dari kolam, saat dia melangkah dari sisi pembatas kolam, kakinya terpeleset dan jatuh sebegitu keras. Wanita yang sedari tadi menyaksikan kelakuan gila Bolang, segera berlari menghampiri Bolang. Dilihatnya setengah tubuh Bolang berada di dalam air.  Matanya tertutup, kedua tangannya tergeletak lemas tenggelam di dalam air. Terdapat darah yang bercampur dengan air di bagian kepalanya. Wanita itu masuk kedalam kolam, berusaha mengangkat tubuh Bolang, sambil memanggil nama Bolang dan berteriak minta pertolongan, Bolang memang kecil, tetapi tidak pernah terpikir oleh Wanita jika Bolang begitu berat bak baja, mereka hampir berhasil melangkah pembatas kolam, dan pada akhirnya mereka berdua terjatuh bersama ke dalam kolam. Ibu - ibu yang  tukang rumpi akhirnya menghampiri mereka dan membantu Bolang keluar dari kolam. 

Beberapa ikan - ikan Mas yang berada di tanah, sudah ada yang mati mengelepar dan sebagian lagi senasib pohon Bonsai Bolang yang mati tak mau hidup pun segan, salah satu ibu yang tidak tega melihat geleparan ikan itu kemudian memindahkannya ke dalam kolam.

 Sembari memapah tubuh Bolang yang tak berdaya, seorang ibu yang sepertinya lebih terdidik menelepon rumah sakit terdekat. Setelah menyelesaikan teleponnya dia  menggulir layar ponselnya kebawah dan mencari sebuah nama, dia menemukan dan menekan lambang hijau di layar. 

'Hallo' jawab Lokito,suara wanita menjawab dari pengeras suara Ponselnya, dia diam menyimak.  'Terimakasih banyak. ' sahut Lokito beberapa menit kemudian mengakhiri telepon nya. 'Ada apa? ' tanya istri Lokito, Lokito masih terkejut menyerap informasi yang baru dia dapat, istrinya menunggu Lokito, 

' Bang, What’s wrong? Itu telepon dari siapa? ' 

'  Fiza, dia bilang Bapak jatuh ke kolam ikan mas, dan sekarang lagi di bawah ke rumah sakit’

' Oo my God, terus gimana? Hospital mana, biar kita segera nyusul. '

Lokito membiarkan istrinya yang memegang kemudi, dia sama sekali belum berkomentar apa - apa tentang Bolang, istrinya menunggu Lokito berbicara. Tiba - tiba Lokito berbisik. “Abang bilang apa?” 

“Koran, aku mau beli Koran?”

Istri Lokito mengernyitkan keningnya, tidak percaya dengan apa yang didengarnya, apa suaminya sudah gila, batin Istri Lokito, tetapi  dia tidak bertanya lebih,”Okay, aku akan cari book shop dekat sini.” 

“No, no need, kita akan liat di ujung, pas putaran jalan,disana ada jual Koran.” Balas Lokito, Istrinya hanya mengangguk dan mengikuti arahannya. 

Lokito meletakkan Koran di jok belakang. Istrinya tidak pernah melihat Lokito membaca Koran baik kertas maupun digital, Lokito lebih memilih media layar sebagai pusat Informasinya. Intinya Lokito dan Koran, never happening, pikir istri Lokito.  Meskipun begitu dia hanya diam.

  Setelah berjam - jam melewati kemacetan jalan kota Medan, istri Lokito berhasil sampai ke rumah sakit Adam Malik. Bersama mereka menuju ruang rawat inap B01, Tempat  Bolang berada. Disana Bolang terbaring, gaun rumah sakit menggantung sampai ke mata kakinya, kepala diperban, tabung infus disalurkan di ujung pergelangan tangannya dan sebuah tabung ventilator menutupi  hidung dan mulut Bolang. Wajahnya segar dan berwarna. Alih-alih berbaring karena sakit, dia lebih kelihatan seperti sedang tidur.

‘Pak, ini Mira dan Lokito, kita udah disini Pak, kita datang mau liat Bapak.” Kata Istri Lokito dengan suara serak karena menahan tangis.’ Bapak bangun yah, kita akan tunggu Bapak, kita gak akan ninggalin Bapak.’ Bapak tidak bergeming, dia masih menutup mata, seolah olah menikmati mimpi yang tidak akan ada habisnya. Lokito duduk diam, matanya lurus memandang Bolang, dia tidak menangis, dia menatap Bolang seksama, sesaat dia bangkit, dia mendekat, menunduk dan membisikan sesuatu ke telinga Bolang. Setelah itu Lokito duduk kembali. Dan tiba - tiba mata Bolang membuka, dan mulutnya mulai berkomat. 

Seorang Suster dan dokter segera menyerbu ruangan dan memeriksa tabung denyut jantung dan mata Bolang. Ditengah kesibukan dokter dan suster, raut wajah Lokito lega dan pandangannya sedikit lebih bersinar. Diluar ruangan Dokter menemui Lokito dan istrinya, dia menyampaikan bahwa Bolang sudah mulai membaik, ‘Kita akan liat kalo hari ini keadaanya masih normal, kemungkinan lima hari kedepan dia sudah boleh pulang’ kata dokter mengakhiri laporannya.

Saat di kantin rumah sakit Lokito masih tidak menyadari diamnya Mira. Hingga,

‘Loki’ panggil Mira tajam. Mira tidak pernah memanggil dirinya seperti itu,  jika seperti ini Lokito tahu dia berada dalam masalah. ‘I need an explanation, dan aku gak mau dengar kalimat misterius, “ nanti kamu juga tau”, aku mau penjelasan clear sekarang.’ desak Mira.

‘Kamu memang selalu tidak sabaran, yah?!’ Balas Lokito lembut. 

‘ Yeah , dan aku masih menunggu’. Tuntut Mira.

 Lokito menarik napas, dan mulai bercerita. ‘Kamu tau obituari? obituari adalah berita kematian seseorang yang biasanya diumumkan melalui selebaran atau dicantum di Koran. Di sana mereka akan menulis, nama, umur, keluarga yang berduka, dan cerita singkat tentang orang itu, biasanya yang ditulis adalah kebaikan orang itu selama hidupnya.’ Jelas Lokito.

‘ Iya, aku pernah dengar dan liat juga, terus,,,’. 

‘Terus hubungannya dengan Bapak,,’ Potong Lokito, dia diam sebelum melanjutkan,  ‘Dia senang mengoleksi Obituari,bahkan mungkin sebelum aku lahir. Dia akan mencari obituari siapa saja, obituari orang tiongkok, meskipun Bapak gak suka mereka, orang pribumi, ataupun  orang asing, dan dia menjadi pelanggan Koran Asing, hanya agar dia dapat memperbanyak  koleksi obituarinya. Aku ingat waktu aku kecil, saat itu aku berumur enam tahun, itu adalah hari ulang tahunku, Mama dan aku menunggu Bapak, untuk merayakannya bersama - sama, kue beserta lilin-lilinnya sudah tersedia diatas meja, aku tidak sabar  ingin meniup lilin itu, dan memakan kue ulang tahunku, dan dari semua aku paling tidak sabar menunggu Bapak. Setelah berjam - jam  kami menunggu, akhirnya Bapak muncul, aku ingat saat itu aku kecewa sekali, karna Bapak tidak membawa hadiah sepeda yang dia janjikan. Tau apa yang dia bawa?! Tumpukan Koran asing yang dikirim dari beberapa negara. Bapak tidak mengatakan  apa - apa, seakan - akan dia tidak pernah berjanji akan memberi hadiah, dan mungkin sampai sekarang Bapak tidak menyadari kesalahan yang pernah  dia perbuat.  Itulah mengapa dia mengamuk hari ini, Obituari Korannya tidak muncul.’ Kata Lokito mengakhiri ceritanya. Tapi Mira belum Puas. ‘Terus kenapa obituari? Maksudku  mengoleksi berita tentang orang mati agak sedikit seram.’

‘Tidak ada yang aneh tentang Kolektor, itu adalah penyakit. Dan tentang Koleksi obituari Bapak, aku tidak mau tau dan aku tidak peduli, yang kutau dengan obituari itu dia menjadi lebih hidup, mungkin saja arwah - arwah orang mati itu bersemayam bersamanya atau dia berharap seperti itu.’Kata Lokito.

‘Yang terakhir, aku janji, ‘ Kata istri Lokito ‘ Apa yang kamu bisikan di telinganya.

Lokito tersenyum memandang istrinya dan berkata, ‘ Hari ini sudah sangat panjang dan lelah, aku janji akan cerita saat kita sudah di Kasur, Okay!!’     Tamat.


Comments

Popular posts from this blog

Stinkhorn mushroom

Perempuan perempuan Bali1

Hujan November